Merasai Harapan dan Ketakutan dalam Puisi “Perjalanan Pulang” dan “Pulang Malam” Karya Joko Pinurbo
Rabu, 22 November 2023 19:22 WIBDua puisi Joko Pinurbo ini berisi perasaan mendasar yang dihadapi oleh manusia pada umumnya ketika membicarakan kematian yang (entah kapan) pasti akan dihadapinya. Namun, perasaan-perasaan itu jarang diucapkan karena banyak alasan, bisa jadi karena takut, malu, atau tabu.
Pertama kali penulis mengenal puisi karya Joko Pinurbo adalah saat SMP, tahun 2021. Saat itu kami diminta untuk ikut lomba musikalisasi puisi dari puisi yang telah ditentukan judulnya oleh panitia. Dari sekian judul, ada puisi Pulang Malam karya Joko Pinurbo. Ini yang kami pilih. Di situlah, kami harus membaca, memahami, menafsir, dan menghafal larik-larik puisi yang akan kami nyanyikan itu.
Ada perasaan lain saat penulis mencoba memahami puisi ini. Kata-kata yang digunakan memang sederhana, tetapi seperti mengandung kekuatan mistis dan magis. Membaca Pulang Malam secara berulang, penulis seperti diajak berkunjung ke suatu situasi dan tempat yang menakutkan. Pada kata ‘malam’ saja sudah terbayang gelap, hantu, sundal, begal, dosa, mabuk, salah jalan, dan lain-lain. Karena penasaran, penulis kemudian mencari puisi-puisi lain dari pengarang yang sama. Banyak puisi beliau yang kemudian saya suka. Bahasa yang digunakan adalah kata-kata sehari-hari. Sederhana, naratif, dan gokil. Namun demikian, jika direnung-renungi menyeret pada penafsiran yang dalam dan tidak sederhana. Nampaknya, Joko Pinurbo memiliki kecerdasan berpuisi yang sangat tinggi. Susah ditiru.
Di sini, penulis menyampaikan hasil telaah terhadap dua puisi karya Joko Pinurbo yang mempunyai persamaan kata dalam judulnya, yaitu Perjalanan Pulang (1991) dan Pulang Malam (1996). Kata “pulang” dipakai dalam dua judul puisi yang berbeda. Namun, kata ini sebenarnya memiliki maksud yang sama. Dalam KBBI, pulang artinya pergi ke rumah atau ke tempat asalnya; kembali (ke); balik (ke). Pulang ke rahmatullah, berpulang, pulang ke alam baka artinya meninggal dunia. Dalam bahasa Indonesia, pulang adalah kata yang bernilai rasa netral dan umum. Berpulang bisa untuk penyebutan tiap orang walau berbeda status, saat ia sudah tidak bernyawa lagi.
Secara visual, perbedaan penggunaan kata pulang dalam dua judul puisi tersebut adalah yang pertama diletakkan di belakang dan yang kedua diletakkan di depan. Pada puisi “Perjalanan Pulang” terdapat proses menuju rumah atau tempat asalnya. Sedangkan pada “Pulang Malam” terdapat makna sampai rumah atau tempat asalnya. Nah, kiranya dari penempatan kata ‘pulang’ dari dua judul puisi ini saja sudah menarik perhatian penulis untuk mencermatinya lebih jauh. Kata ganti persona yang ada dalam puisi itu juga ada perubahan dari aku, kita, ke kami. Apa sebenarnya yang disampaikan pengarang dalam kedua puisi ini? Penafsiran dalam tulisan ini tidak berdasarkan pada suatu teori kajian puisi, tetapi semata berdasarkan rasa dan nalar atau refleksi pribadi. Keyakinan yang dipakai adalah bahwa puisi merupakan suatu wacana singkat, padat, dan multitafsir.
Merasai Harapan
Dalam puisi Perjalanan Pulang”, pulang menjadi hal yang sangat diinginkan oleh tokoh. /Kadang ingin sangat aku pulang ke rumahmu./ Namun di sini, rumah yang dirindukannya adalah ‘rumahmu’ bukan rumahku. Apakah yang dimaksud adalah rumah orang tuanya yang tinggal sendirian di kampung halaman? Atau, pulang ke rumah salah satu anaknya saat aku sudah tua nanti? Secara tekstual, dua kemungkinan rumah ini yang paling mungkin. Jika kemungkinan pertama yang terjadi, berarti tokoh aku sedang di perantauan jauh dari rumah orang tuanya.
Ia sangat merindukan pulang ke kampung halaman dan bertemu dengan orang tuanya yang masih hidup. Orang tua yang masih punya harapan kuat untuk tetap masih bisa melihat matahari tiap ganti hari. /ke ambang jendelamu, melongok wajah seseorang/yang sedang melukis matahari di telapak tangan./ Jika kemungkinan kedua yang terjadi, tokoh aku berharap hidup sehat sampai senja (tua) sehingga (sampai) bisa mengunjungi salah seorang anaknya yang sudah punya rumah sendiri. /Setidaknya kubayangkan suatu senja aku datang/ke ambang jendelamu…/ Mengulur-ulur waktu agar tidak cepat sampai/.
Harapan untuk hidup lebih lama sampai umurnya tua, tertangkap dari larik-larik: … Demikianlah musafir: kita takut menjadi tua/namun juga tak pernah bisa kembali menjadi bayi,/menjadi kanak-kanak/. Kalau perlu, ia kembali lagi menjadi kanak-kanak atau bahkan menjadi bayi lagi agar perjalanan hidup atau usia lebih panjang. Namun, ia sadar benar bahwa hal itu tidak mungkin atau tidak pernah bisa terjadi.
Kata ‘aku’ menjadi ‘kita’ artinya tokoh berpikir bahwa harapan ini dimiliki juga orang lain pada umumnya, termasuk semua pembaca puisi itu. Keinginan untuk hidup lebih lama juga terdapat pada larik: …/Katakan pada ibu, si buyung mau lebih lama merantau./ … Uban-uban tak mau bicara tentang ketuaan./ Namun, aku juga sadar bahwa harapan ini sebenarnya sia-sia karena jauh dekat atau lama singkatnya petualangan itu terletak dari bagaimana orang memikir dan merasainya. /Aduh sayang, jarak itu sebenarnya tak pernah ada./Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan./ Ada pertemuan pasti ada perpisahan, jika hidup pasti akan mati. Di sinilah dalam diri tokoh aku terjadi dialektika antara harapan dan kesadaran pada hakikatnya.
Ia punya harapan agar perjalanan lebih panjang lagi mungkin karena selama menjalaninya terdapat suka cita. Perjalanan yang ia tempuh mengasyikkan dan menggembirakan. Perjalanannya penuh makna oleh karena itu perlu diteruskan atau tidak boleh dihentikan.
Merasai Kebosanan
Sisi lain pada puisi “Perjalanan Pulang” adalah ungkapan kebosanan tokoh selama melakukan perjalanan. …/ tapi saban kali juga tak betah./ … Hari itu jam bergerak lambat./Malam mengingsut seperti siput mengusut kabut./…Jika benar air mancur itu tak ingin tidur,/barangkali bisa kutitipkan kebosanan padanya./ Demikian tokoh merasainya saat berada di halte. Halte adalah tempat yang menghubungkan antara jarak yang sudah dilalui dan waktu yang akan ditempuh kemudian.
Oleh tokoh aku, jarak yang sudah ditempuh tidak selalu menyenangkan, tapi juga ada yang membosankan dan membuatnya tidak betah. /Ah padang pasir./ Panasmu ingin menghanguskan perkemahan./Kau pikir para pengungsi mau dilumat kelaparan?/Lihatlah, sungai itu tetap saja hijau./Kematian dienyahkan ke bukit-bukit karang,/kanak-kanak bermain terompet di lubang persembunyian./
Situasi inilah yang kemudian membuat aku ingin segera pulang ke rumah atau entah ke mana yang penting meninggalkan halte itu. Ia mengharapkan datangnya bus yang segera bisa mengantarkannya ke rumah. ...Menunggu dan menanti tak henti-henti./ Mengangankan masih ada bus yang bakal datang/ membawanya pulang atau mungkin pergi jauh sekali./ …Rindu. Aku ini memang selalu rindu untuk pulang/.
Merasai Ketakutan
Perasaan takut tokoh aku sangat terlihat pada puisi Pulang Malam. Walaupun sebenarnya tanda-tanda ketakutan itu sudah ada pada puisi sebelumnya. Hanya saja, ketakutan yang tersirat pada “Perjalanan Pulang” itu sifatnya kolektif, kata ‘kita’ artinya tokoh menganggap bahwa rasa takut pulang itu juga dirasakan siapa saja, termasuk pembaca. …Mengapa kita takut pada ketakutan?/ Mengira tak ada yang bisa diabadikan?/ Tengah malam kita sering terbangun/ lalu berdiri di depan cermin./ Merapikan rambut yang kusut./ Membelai wajah yang membangkai./ Memugar mata yang nanar./ Di sini yang sebenarnya ditakutkan itu adalah rasa takut ‘pulang’ itu sendiri.
Jika dalam puisi Perjalanan Pulang tokoh berada dalam perjalanan pulang, pada puisi “Pulang Malam” tokoh sudah sampai rumah atau pulang itu sudah terjadi. Kekhawatiran tokoh tiba sampai di rumah malam hari itu terjadi. Bahkan, tokoh tiba di rumah sudah larut malam. Ini artinya perjalanan yang ditempuh cukup panjang dan lama. Tentu melelahkan dan ingin segera istirahat, tidur secara damai dalam mimpi yang indah dan berpelukan dengan orang tercinta. Namun apa yang terjadi? Ranjang yang akan mereka pakai untuk istirahat terbakar dan tragisnya lagi tokoh berada dalam kobaran apinya. Kami tiba larut malam./ Ranjang telah terbakar/ dan api yang menjalar ke seluruh kamar/ belum habis berkobar./
Bukan hanya itu, kobaran api yang melalap ranjang itu membakar dan menghanguskan tubuh tokoh. Tokoh menjadi bangkai dan api siap melumatnya menjadi asap dan abu. Tentu hal ini sungguh menakutkan. ..Di atas puing-puing mimpi/ dan reruntuhan waktu/ tubuh kami hangus dan membangkai/ dan api siap melumatnya/ menjadi asap dan abu./
Padahal, tokoh ‘kami’ (aku dan kekasihnya) berharap berpulang secara secara baik, kalau bisa berpulang bersamaan menjadi sepasang mayat. Ingin bersatu sehidup semati, seranjang, berpelukan selamanya, dan jiwa yang damai. …Kami sepasang mayat/ ingin kekal berpelukan dan tidur damai/ dalam dekapan ranjang.
Puisi Pulang Malam ini bisa dimaknai sebagai ketakutan tokoh ketika berpulang nanti. Ia takut jiwanya dimasukkan dalam kobaran api yang melumatkan. Jika demikian, tergambar betapa panas, sakit, dan tersiksanya. Ia juga takut ketika telah berpulang nanti, tidak bertemu lagi dengan kekasihnya. Padahal selama dalam perjalanan hidupnya mereka telah menjadi ‘kami’ yang berjanji sehidup semati dalam suka maupun duka. Janji yang membuat mereka berpengharapan bahwa sampai meninggal nanti jiwa mereka akan tetap bisa bersama dan bersatu dalam tidur damai yang kekal.
Mungkin karena inilah, terjadi dialektika tentangg ‘pulang’ pada diri tokoh. Pulang menjadi hal yang tidak diingin karena gambaran mengerikan yang menakutkan karena kobaran api yang membakar jiwa. Pulang juga menjadi hal yang sangat diharapkan karena ketika sudah berpulang akan masuk dalam babak baru dalam gambaran jiwa yang damai dan kekal bersama orang tercinta. Dan kesimpulan dari dialektika ini adalah entahlah!
Fabian Satya Rabani, siswa SMA Talenta Bandung.
Musikalisasi puisi “Pulang Malam”:
https://www.instagram.com/reel/CkQFAGrBl6k/?igshid=N2ViNmM2MDRjNw== atau
https://www.youtube.com/watch?v=cedYLGMjPt8
Pelajar, model, dan atlet tinggal di Bandung, Jawa Barat. IG: @satya_rabani
0 Pengikut
Saat Gibran Bikin ‘Mati Kutu’ Lawan Debatnya
Minggu, 24 Desember 2023 21:26 WIBJika
Minggu, 17 Desember 2023 08:57 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler